THAILAND EPS 3: NATIONAL MUSEUM DAN CHINATOWN

 THAILAND EPS 3: National Museum dan Chinatown

Kalau rezeki tak kan kemana. Sesampainya di National Museum, tiket yang kami ketahui harganya adalah 200 THB, ketika kami ke loket di hari itu ternyata gratis. Tidak ada pembayaran, hanya pengambilan tiket dan brosur saja. Alhamdulillah dapat berhemat.

Tampak Depan National Museum

Dimuseum ini tidak semua ruangan boleh difoto dengan kamera. Barang bernilai sejarah di pajang dengan rapi. Lengkap dengan penjelasan Bahasa Inggris. Ada banyak sekali visual dalam bentuk video. Jika diperhatikan tiap bangunannya memiliki genre barang-barang yang berbeda.

Bangunan paling depan merupakan tempat sembahyang yang memamerkan perangkat sembahyang Agama Buddha dengan nilai historis, lalu ada bangunan yang menceritakan kehidupan masyarakat lokal dengan perkakas rumah tangga. 

Ada pula koleksi pecah-belah yang dipakai keluarga raja, singgasana, kursi-kursi, pernak-pernik kerajaan yang di tata untuk dapat dinikmati pengunjung. Tentu dengan hanya melihat dan memperhatikan. Tidak boleh disentuh atau dinaiki.

Kereta-kereta hias yang dipakai ketika diangkat menjadi raja hingga prosesi upacara raja mangkat. Ada lukisan raja Rama I hingga Rama X yang saat ini bertahta. Beberapa ruangan yang kami masuki harus melepas alas kaki karena lantai terbuat dari kayu yang telah di pernis.


Banyak sekali barang antik yang menarik perhatian saya. Seperti sepasang gading gajah yang saling berhadapan, lalu di ada gong yang diikat dan tersambung pada ujung gading tersebut. Lalu ada satu set papan catur dengan bidak catur terbuat dari batu alam.

Kami di museum ini hingga pukul 3 sore. Setelah itu kami beranjak ke coffee shop yang tempatnya tidak jauh juga dari sana, sekitar 8 menit. Dengan menggunakan Grabcar kami melaju. Di coffee shop sekedar beristirahat, nyantai menikmati suasana. Namanya Buttercoffs Caffe. Tidak begitu lama. Hanya sekitar 45 menit saja. Setelah itu kami kembali ke hotel.













Disana saya hanya memesan minuman saja. Kopi susu. Sisanya menikmati percakapan orang orang sekitar berbahasa Thailand yang saya tidak tahu artinya.


Langit sudah gelap, malam datang. Sekitar pukul 7 malam kami berangkat dari hotel menuju Chinatown. Kawasan pecinan yang menjual banyak makanan dan minuman. Dipenuhi oleh gerobak dan juga kedai makanan.

Kami bertemu foodstreet dengan atraksi. Seperti pan yang besar lalu makanan di tumis di atas pan itu. Api sesekali menyambar pan tersebut. Dagangan seperti ini diminati banyak orang. Diantara mereka ada yang mengantri untuk membeli dan ada pula yang berkerumun mengelilingi gerobak untuk sekedar melihat santapan yang dijual.

Kami tidak banyak membeli jajanan. Namun kami menikmati perjalanan yang sisa tenaga kami masih terdapat dikaki. Kami membeli cumi yang ditumis kol dan disiram dengan kuah cabai pedas gurih, jus buah delima, cakwe yang dicocol dengan saus srikaya dan mango sticky rice. Oh ya tak lupa saya menjajal Durian Monthong. Ini termasuk list yang harus dicoba.


Juga ada makanan ekstrim seperti kalajengking yang disate. Tapi jelas, ini hanya menarik untuk dilihat karena rasa penasaran saya saja, tidak untuk dicoba. Saya mengingat-ingat tempat semacam ini. Oh ya, mirip dengan kawasan Bukit Bintang di Kuala Lumpur di malam hari.

Sepanjang jalan berisi banyak kafe dengan konsep dapur terbuka. Proses masaknya bisa langsung diperhatikan. Kesan dunia malam juga tidak lepas dari tempat seperti ini. Namun lagi-lagi saya ingat pesan Buya Hamka yang berkata: kita sejatinya akan bertemu dengan apa yang dicari.


Denyut nadi kawasan ini sepertinya memang hidup di malam hari. Sudah pukul 10 malam semakin ramai. Namun kami memilih pulang. Mengendurkan urat kaki yang sudah berjalan ribuan langkah menyusuri banyak tempat. Saatnya beristirahat. Besok perjalanan kami sangat panjang. (Bersambung ke Thailand Eps 4)

Komentar

Postingan Populer